Minggu, 15 Mei 2011

Mempertanyakan Film “?” (Tanda Tanya)


Mari kita kritisi film “?” ini dari sudut pandang Islam. Apakah benar kisah dari film ini memberi contoh sikap toleransi antarumat beragama? Namun, sebelum jauh dibahas, sudah sepatutnya kita sebagai muslim menjaga ikrar laa ilaaha illallaah muhammadur rasuulullaah ‘tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah’. Pengakuan ini harus dipegang teguh dan tidak bisa dianggap remeh. Dengan kita mengikrarkan seperti itu, maka sebagai konsekuensi logisnya, kita harus mengesakan Allah dan ikhlas melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Dalam film “?”, dikisahkan Rika murtad (keluar dari Islam) karena tidak terima suaminya memutuskan untuk berpoligami. Rika memiliki satu anak yang masih kecil bernama Abi dan Rika berteman dengan seorang muslim yang bernama Surya, seorang aktor figuran. Sekarang, muncullah pertanyaan, apa yang diinginkan dari film ini? Mengapa tokoh yang begitu dominan adalah seorang yang keluar dari Islam? Parahnya, temannya yang muslim itu justru bangga terhadap Rika karena berani melakukan perubahan besar bagi dirinya sendiri. Tentu, tidak sepatutnya seorang muslim bangga akan hal itu karena dalam Islam, murtad dan syirik (menyekutukan Allah) adalah dosa besar dan merupakan kezaliman yang besar terhadap Allah SWT (QS 31: 13). Selain itu, Al-Quran pun menjelaskan bahaya kemurtadan pada QS 2: 217, yakni amalannya menjadi sia-sia dan pelakunya kekal di neraka. Namun, dalam film ini, kemurtadan justru dientengkan.
Bila kita berefleksi pada sejarah Nabi Muhammad SAW, Islam justru agama yang sangat toleran terhadap umat agama lain. Namun, toleransi terhadap umat agama lain yang diajarkan dalam Islam adalah toleransi dalam tingkat sosiologis (ber-mu’ammalah), sedangkan soal akidah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Akan tetapi, apa yang dikisahkan dalam film “?” ini? Surya yang muslim mau-maunya berperan sebagai Yesus di acara gereja pada hari Paskah dan menjadi Santa Claus untuk menghibur seorang anak yang sedang sakit. Parahnya, sang ustadz justru menyetujui Surya melakukan perannya itu, bahkan tanpa dalil yang kuat. Selain itu, Menuk yang juga beragama Islam dan berkerudung bekerja di restoran penjual makanan dari babi. Padahal dalam hadits disebutkan, "Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung." (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah yang mendengarnya langsung dari lisan Nabi saat Fathu Makkah) dan kita dilarang untuk saling tolong-menolong dalam berbuat dosa (QS 5: 2).
Di akhir film ini, Rika pun mengutip kalimat dari sebuah buku dan menyampaikannya kepada temannya, Surya, yaitu “... semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.” Untuk apa kalimat seperti itu disampaikan? Ini benar-benar telah menyimpang dari kebenaran. Tidak mungkin agama yang berbeda mengakui Tuhan yang sama. Tidak mungkin semua agama itu benar. Jika seperti itu, maka agama menjadi tidak penting lagi dan sepertinya itu justru yang diinginkan dari film ini. Padahal, konsep ketuhanan dan tata cara hidup yang diajarkan tiap agama itu jelas berbeda dan bahkan bertolak belakang. Pada akhirnya, alih-alih menjadi penengah dari konflik antaragama, film ini justru menambah daftar ‘agama’ baru, yakni paham pluralisme itu sendiri. Jadi, untuk memahami kebenaran suatu agama, sebaiknya dengan pendekatan yang lebih komprehenshif, secara filosofis, sosiologis,  historis, eksakta, perbandingan agama, dan lain-lain. Jika mereka bersungguh-sungguh menuju jalan-Nya, maka Allah (sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam) akan menunjukkan jalan-Nya bahwa Dialah Tuhan Yang Sebenarnya.

Referensi: adianhusaini.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Chat