Sabtu, 03 Desember 2011

TAUHID 2

BAGIAN 2

b. Kepercayaan Kepada Tuhan dan Mentauhidkan Tuhan

Sekedar percaya wujud Tuhan bukan merupakan sebuah prestasi karena kepercayaan itu memang telah ada dalam tiap diri kita, meskipun kadang terabaikan. Terkadang juga watak ini muncul tiba-tiba pada diri manusia, diantaranya saat berada dalam kondisi kritis (lihat QS 10 : 22-23). Manusia dengan sendirinya telah memiliki kepercayaan ini karena sudah ditanamkan Allah sebelum lahir ke dunia (lihat QS 29 : 61). Iblis yang disebut kafir pun percaya akan wujud tuhan. Tanggapan manusia terhadap Tuhan bisa jadi berbeda, salah satunya dipengaruhi tingkat pemikiran. Dari manusia primitif yang menyembah gunung, pohon, dll, sampai manusia dengan kebudayaan lebih tinggi yang menggambarkan tuhan sebagai manusia atau hewan. Pada suatu kelompok manusia, tuhan mungkin merupakan pemimpin yang berpengaruh dan berjasa besar. Jadi memang kepercayaan atas tuhan dan kebutuhan beribadah telah ada dalam diri manusia (lihat QS 51 : 56), hanya saja pengungkapannya berbeda-beda tergantung kualitas pribadi, terutama kualitas aqidah. Misalnya, secanggih apapun pikiran seseorang bisa saja dalam pengabdian pada tuhan berlaku primitif akibat lemahnya pemahaman dan penghayatan tauhid dan nilai islam. Dalam QS 2 : 30-34 dan QS 7 : 12-18 diceritakan kisah penciptaan Adam dan peristiwa pengingkaran iblis terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Dapat disimpulkan bahwa kesalahan iblis bukanlah tidak percaya wujud Allah melainkan mengingkari perintah Allah akibat rasa sombong dan iri hati kepada Adam. Dalam hadits disebutkan bahwa seseorang tidak akan masuk surga jika memiliki rasa sombong walau sebesar zarrah. Bersambung. Referensi: Kuliah Tauhid, Muhammad ‘Imaduddin Abdul Rahim (Bang ‘Imad) Kepercayaan Kepada Tuhan dan Mentauhidkan Tuhan (bagian 2) Rasa sombong ini ditularkan iblis kepada manusia dan menghasilkan manusia yang sombong, merasa lebih hebat karena gelar, keturunan, dll. Dan jika masyarakat mereka bersikap menerima-menerima saja, maka “golongan atas” ini dapat semakin mengukuhkan hak istimewa mereka dengan berbagai cara, melalui tradisi, adat, nilai leluhur, dll. Al Quran mengkritik watak masyarakat yang seperti ini dalam QS 17 : 36. Sedangkan untuk masyarakat yang berbuat lebih jauh, sampai terlalu mengagungkan nilai leluhur, Al Quran menanggapinya dalam QS 5 : 104. Rasulullah pun menegur para shahabat yang mengagungkan beliau secara berlebihan. Kesombongan iblis membuatnya ingkar terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam yang dilebihkan oleh Allah dengan ilmu pengetahuan. Bisa dianggap keingkaran iblis ini akibat ketidakmampuannya untuk berpikir scientifik. Maka wajar saja jika seseorang yang berpikir secara ilmiah tidak percaya pada tahayul atau klenik yang merupakan ilmu iblis. Intisari dari islam dalam hubungan makhluk dengan tuhan yaitu kepatuhan yang bulat hanya kepadaNya. Mentauhidkan atau mengesakan yang berarti meletakkan Allah dan segala perintahNya diatas segala-galanya. Oleh karena itu mentauhidkan Allah jauh lebih sulit dibanding sekedar percaya wujudNya dan butuh perjuangan keras. Konsistensi dalam menghayati tauhid merupakan prestasi yang mulia, karena itu layak mendapat ganjaran tertinggi. Disisi lain mentauhidkan Allah pada hakikatnya merupakan kebutuhan manusia baik secara pribadi maupun untuk mencapai kebahagiaan dalam hubungan antar manusia. Bersambung. Referensi: Kuliah Tauhid, Muhammad ‘Imaduddin Abdul Rahim (Bang ‘Imad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Chat